Rabu, 02 Desember 2015

Review buku "Sastra Bandingan" Sapardi Djoko Damono

REVIEW
‘Sastra Bandingan’ Sapardi Djoko Damono Sastra Bandingan.
Jakarta: Editum, 2009. 150 halaman. ISBN 978-979-19766-2-6,
Soft Cover. BUKU berjudul Sastra Bandingan ini sebelumnya pernah diterbitkan oleh Pusat Bahasa sebagai bagian dari buku pegangan.

Seperti yang telah diketahui, Abad ke-19 dan ke-20 telah menumbuhkan kegiatan akademik yang boleh dikatakan tidak dikenal sebelumnya, yakni sastra bandingan, yang memiliki prosedur dan kondisi tersendiri. Kegiatan itu pertama kali dicetuskan oleh Sainte Beuve, dalam sebuah artikel yang dimuat di Revue des Deux Mondes terbitan tahun 1868. Dalam karangannya itu antara lain menjelaskan dengan akurat bahwa cabang studi sastra bandingan baru berkembang di Prancis pada awal abad ke-19. sastra bandingan adalah pendekatan dalam ilmu sastra yang tidak menghasilkan teori sendiri. Boleh dikatakan teori apa pun bisa dimanfaatkan dalam penelitian sastra bandingan, sesuai dengan obyek dan tujuan penelitiannya. Dalam beberapa tulisan, sastra bandingan juga disebut sebagai studi atau kajian. Dalam langkah-langkah yang dilakukannya, metode perbandingan adalah yang utama. Perbandingan sebenarnya merupkan salah satu metode yang juga selalu dilaksanakan dalam penelitian seperti halnya memerikan dan menguraikan, tetapi dalam sastra bandingan metode itu merupakan langkah utama. Dengan demikian uraian yang dilaksanakan dalam sastra bandingan berlandaskan azas banding-membandingkan.
Berdasarkan azas tersebut Sapardi menegaskan adanya konsep penting bahwa tidaklah benar jika dikatakan bahwa sastra bandingan sekadar mempertentangan dua sastra dari dua negara atau bangsa, tetapi lebih merupakan suatu metode untuk memperluas pendekatan atas sastra suatu bangsa saja. Mengutip pendapat Clements (l978) bahwa ditemukan lima pendekatan yang bisa dipergunakan dalam penelitian, yakni: tema/mitos,genre/bentuk, gerakan/zaman, hubungan-hubungan antara sastra dan bidang seni dan disiplin ilmu lain, dan pelihatan sastra sebagai bahan bagi perkembangan teori yang terus-menerus bergulir.“Konsep penting yang perlu disebutkan adalah bahwa pendekatan ini menuntut dipergunakannya bahasa asli karya sastra yang dibandingkan.”(hal. 12). Sapardi juga membuka wawasan kita tentang pentingnya studi sastra bandingan dengan mengambil karya terjemahan; bukan hanya yang berasal dari bahasa asing tetapi terutama juga yang berasal dari bahasa daerah yang sangat banyak jumlahnya. Salah satu masalah besar yang dihadapi oleh studi sastra bandingan adalah jika sastra bandingan itu merupakan studi kesusastraan melewati batas-batas linguistik, maka seharusnya dikaitkan dengan sejarah pemikiran. Secara kritis dapat dipertanyakan bahwa alur, gagasan,dan penokohan dengan mudah bisa diwariskan atau ditiru, tetapi bagaimana dengan bahasa? Bagi Sapardi Djoko Damono, pengarang besar yang menulis dalam bahasa yang memiliki tradisi sastra yang agung tentu merupakan tantangan bagi penerjemah. Jika dalam terjemahan puisi harus menjadi puisi, dalam hal ini parafrase jelas bukanlah terjemahan tetapi tafsiran.“Kemiskinan linguistik yang ada pada bahasa sasaran akan membatasi kemampuan si penerjemah dalam upaya memindahkan sastra sumber ke sastra sasaran.”(hal. 16). Di benua lain, seperti Asia, sastra bandingan menghadapi masalah besar sebab ditinjau dari segi linguistik dan budaya, bangsa-bangsa di Asia memiliki ciri-ciri tersendiri yang cenderung menolak dibanding-bandingkan. Penyebabnya menurut Sapardi, disamping memiliki aksara berbeda-beda, Asia tidak memiliki acuan yang tunggal dalam kebudayaannya seperti halnya Eropa. Masing-masing bangsa memiliki mitologi sendiri, meskipun dalam beberapa kasus telah terjadi pengaruh-mempengaruhi, suatu hal yang telah melampaui batas-batas budaya dan politik. Buku ini lengkap berisi bab tentang Konsep Dasar, Perkembangan; Asli, Pinjaman, Tradisi; Sastra Bandingan Nusantara; Meninjau Romantisme: Kasus Puisi Inggris dan Indonesia; Tentang Penerjemahan Sastra; Rabindranath Tagore dan Kita: Kasus Pengaruh Tokoh Sastra; dan diakhiri bab tentang Alih Wacana. Membicarakan Sastra Bandingan Nusantara, tak luput dari posisi Indonesia sebagai negeri yang sangat kaya sebagai sumber penelitian sastra bandingan. Meski tidak semua bahasa yang tumbuh di Indonesia memiliki aksara, namun berbagai jenis tradisi lisan yang berkembang pun merupakan bahasa yangtak akan habis dikaji dalam kegiatan sastra bandingan. Perbedaannya dengan di Eropa yang mengacu kepada mitologi Yunani dan Perjanjian Lama dan Injil, kelompok-kelompok etnik di Indonesia masing-masing mengembangkan mitologi sendiri dan bahkan beberapa di antaranya mengembangkan agama sendiri, yang tentu saja merupakan pengaruh atau hasil pengolahan dari kebudayaan lain. Menurut Sapardi Djoko Damono, sastra Indonesia bisa dibaca oleh semua orang yang menguasai bahasa Indonesia. Namun tidak semua karya sastra yang ditulis dalam bahasa Indonesia bisa dihayati dan dipahami oleh semua kelompok etnik yang membentuk bangsa ini. Sekadar contoh, sastra Indonesia yang ditulis oleh sastrawan Minang belum tentu bisa dipahami oleh pembaca yang berasal dari Bali, dan sebaliknya. Begitu juga prosa lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi AG., tidak mudah dipahami oleh masyarakat yang bukan Jawa. Untuk itulah A.Ikram (1990) menawarkan studi perbandingan yang didasarkan pada sastra-sastra yang berkembang di Nusantara. Ia membuat pengelompokan masalah berdasarkan konsep-konsep yang telah ditawarkan oleh Clements, yakni genre dan bentuk; periode, aliran, dan pengaruh; tema dan mitos. “Terutama karena adanya berbagai jenis pengaruh, tradisi sastra kita memiliki genre yang tidak dimiliki oleh banyak bangsa.”(hal.31). Tentang Penerjemahan Sastra merupakan judul bab yang paling menarik dibahas dalam buku ini. Sapardi Djoko Damono mengajak kita membayangkan, sebuah haiku diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, kemudian terjemahan itu dialihkan ke bahasa Indonesia. Selanjutnya versi Indonesia itu dipindahkan ke dalam bahasa Jawa, dan akhirnya haiku Jawa itu‘dikembalikan ke asal-usulnya, bahasa Jepang. Sajak pertama dan terakhir tentu sama sekali akan berbeda. Karya terjemahan itu tidak akan bisa mengungguli aslinya. Mengutip pendapat Gifford, sastra terjemahan diibaratkannya sebagai tidak lebih dari reproduksi hitam putih dari lukisan cat minyak sebab teksturnya telah berubah. Keutuhan karya sastra asli akan dimiskinkan oleh terjemahannya, meskipun taraf pemiskinan itu tergantung pada jenis karya sastra yang diterjemahkannya. Dalam konteks pembicaraan mengenai sastra bandingan, karya terjemahan tidak mempunyai kedudukan yang kokoh. “Kecelakaan semacam itu bisa terjadi jika penerjemahnya kurang mampu, namun keunggulan bisa juga dicapai oleh terjemahan. Sangat mungkin ada terjemahan yang lebih bagus dariaslinya, hubungan antar unsurnya lebih kokoh, wawasannya lebih dalam, dan kemungkinan penghayatannya lebih luas.”(hal. 96). Bagaimanapun penerjemahan merupakan kegiatan yang sangat penting sebab memungkinkan suatu teks meneruskan kehidupannya di konteks lain. Dengan kata lain hidupnya menjadi baru kembali di dalam konteks yang baru. Dalam bab ini Sapardi Djoko Damono memberikan contoh terjemahan penyair Chairil Anwar, untuk mengalihkan sastra sumber ke sastra sasaran. Hal itu untuk memberi gambaran bagaimana kira-kira proses pengaruh itu lewat terjemahan. Chairil Anwar menerjemahkan karya John Cornford,“Poem”yang dalam terjemahannya diberi judul“Huesca.”Dalam sejumlah sajaknya,“Huesca” adalah salah satu terjemahan yang‘cantik’menurut Sapardi. Dalam terjemahannya Chairil Anwar telah menciptakan ungkapan yang baru, setidaknya makna yang baru bagi ungkapan itu, yang sama sekali tidak membayangkan adanya faktor kekejaman dan ketiadaan belas kasihan seperti jelas tampak pada bahasa sumbernya. Tentunya kita tidak bisa mengesampingkan begitu saja apa yang telah dilakukan oleh Charil Anwar dalam sajaknya yang berjudul “Krawang Bekasi.”Oleh beberapa pengamat sajak itu dianggap plagiat dari sajak Archibal Mac Leish yang berjudul“The Young Dead Soldiers”karena Chairil Anwar tidak mencantumkan nama Mac Leish.“Jika kita membandingkan kedua sajak itu agak cermat, tampak jelas bahwa sebenarnya Chairil Anwar telah menciptakan sajak yang baru, dengan meminjam dan sekaligus diilhami oleh beberapa larik sajak MacLeish.” (hal. 104). Pada akhirnya Sapardi Djoko Damono menengarai, perkembangan teknologi modern pada gilirannya mempengaruhi media akan membuka pembicaraan lebih luas lagi bagi sastra bandingan.






Pertanyaan yang kemudian bisa muncul adalah, apa saja yang bisa dibanding-bandingkan. Menurut Remak (1990:1), sastra bandingan adalah kajian sastra di luar batas-batas sebuah Negara dan kajian hubungan di antara sastra dengan bidang ilmu serta kepercayaan yang lain seperti seni (misalnya, seni lukis, seni ukir, seni bina, dan seni music), filsafat, sejarah, dan sains sosial (misalnya, politik, ekonomi, sosiologi), sain, agama, dan lain-lain. Ringkasnya, sastra bandingan membandingkan sastra sebuah Negara dengan sastra Negara lain dan membandingkan sastra dengan bidang lain sebagai keseluruhan ungkapan kehidupan. Dalam keterangan remak itu tampak adanya dua kecenderungan dalam sastra bandingan, yakni yang menyatakan bahwa pertama, sastra harus dibandingkan dengan sastra; dan kedua, sastra bisa saja dibandingkan dengan bidang seni dan bahkan disiplin ilmu lain. Sastra dalam bahasa inggris dipergunakan di sangat banyak Negara, baik yang bahasa nasionalnya bahasa Inggris atau bukan. Disamping itu, pandangan Remak yang tidak mengharamkan dibandingkannya sastra dengan yang dianggap bukan sastra itu tentu tidak bisa diterima oleh semua peneliti sastra bandingan, seperti misalnya Nada, seorang pengamat sastra Arab, yang menyatakan bahwa bandingan antara sastra dan bidang-bidang lain tidak boleh dianggap sebagai sastra bandingan. Menurut Nada (1999:9), sastra bandingan adalah suatu studi atau kajian sastra suatu bangsa yang mempunyai kaitan kesejarahan dengan sastra bangsa lain, bagaimana terjalin proses saling mempengaruhi antara satu dengan lainnya, apa yang telah diambil suatu sastra,d an apa pula yang telah disumbangkannya. Berdasarkan pandangan itu maka nada membuat studi mengenai proses perpindahan sastra dari satu daerah ke daerah lain, hal yang menyangkut berbagai segi tematik dan stilistik seperti tipe, diksi, dan gaya. Yang merupakan hal penting bagi pengamat sastra itu adalah bahwa perbedaan bahasa merupakan salah satu syarat utama bagi sastra bandingan. Menurutnya, kajian yang hanya menyangkut satu bahasa tidak dapat disebut sastra bandingan; jadi pembicaraan mengenai sastra-sastra yang ditulis dalam bahasa Arab di berbagai negeri baginya tidak bisa diklasifikasikan sebgai sastra bandingan. Katanya, seseorang tidak bisa dianggap telah melakukan studi sastra bandingan, jika ia mengadakan perbandingan antara sastrawan Arab, al-Buhturin, dan penyair Arab lainnya seperti Hafiz dan Syauqi. Ini menunjukkan bahwa ia menganggap bahasa Arab di mana pun telah menghasilkan kebudayaan yang kurang lebih sama dan oleh karenanya tidak ada alasan untuk membanding-bandingkan karya sastranya. Dicontohkannya antara lain karya Firdausi yang berjudul Shanama. Karya itu telah tersebar luas di begeri-negeri yang berbahasa Arab, dan antara lain telah mempengaruhi sastrawan Parsi yang bernama Asadi al-Tursi yang menghasilkan Khirshasinamah. Mengenai kedua karya sastra yang ditulis dalam bahasa Arab oleh dua sastrawan dari dua negeri yang berbeda itu ia berpandangan bahwa studi mengenai keduanya tidak bisa digolongkan sebagai sastra bandingan. Baru jika ada karya sastra yang diterjemahkan atau disusun kembali dalam bahasa lain, studi tentang keduanya dapat disebut sastra bandingan. Jika perbedaan bahasa menjadi syarat yang mensahkan studi sastra bandingan, masih ada lagi masalah pelik, yakni yang menyangkut sastrawan yang menulis dalam lebih dari satu bahasa.
Dalam pengantarnya mengenai sastra bandngan, Clements (1978:5-6) mengutip beberapa definisi yang disampaikan oleh beberapa pakar sastra bandingan bahwa pendekatan itu merupakan “sejarah hubungan-hubungan sastra antarbangsa.” Guyard selanjutnya berpandangan bahwa sastra bandingan mensurvai pertukaan gagasan, tema, buku, atau perasaan di antara bangsa-bangsa di antara dua atau beberapa sastra. Metode yang dipergunakannya tidak khusus, tetapi disesuaikan dengan tujuan penelitian yang ingin dicapainya. Yang menjadi syarat penting adalah bahwa si penulis harus menguasai beberapa bahasa dan harus tahu di mana harus mendapatkan bahan bacaan untuk melaksanakan analisisnya. Pandangan lain disampaikan oleh A. Owen Aldridge yang menyatakan bahwa sastra dapat dianggap sebagai studi sembarang gejala sastra dari pespektif lebih dari satu sastra suatu bangsa atau dlaam hubungannya dengan suatau atau bahkan dengna beberapa disiplin intelektual. Jadi, tidaklah benar jika dikatakan bahwa sastra bandingan sekedar mempertentangkan dua sastra dari dua Negara atau bangsa, tetapi lebih merupakan suatu metode untuk memperluas pendekatan atas sastra suatu bangsa saja. Sastra bandingan melampaui batas-batas bangsa dan Negara untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik tentang kecenderungan-kecenderungan dan gerakan yang terjadi di berbagai bangsa dna Negara. Clements selanjutnya menyimpulkan bahwa pada dasarnya pandangan-pandangan para pakar itu bisa diterima, dan atas dasar itu ia menentukan lima pendekatan yang bisa dipergunakan dalam penelitian, yakni: tema/mitos, genre/bentuk, gerakan/zaman, hubungan-hubungan antara sastra dan bidang seni dan disiplin ilmu lain, dan perlibatan sastra sebagai bahan bagi perkembangna teori yang terus-menerus bergulir.
Dalam studi pengaruh ada dua metode yang bisa dipergunakan, yakni peneliti menekankan masalahnya dari segi pandang sastrawan yang dipengaruhi atau dari segi pandang sastrawan yang dipengaruhi atau dari sudut pandang sastrawan yang mempengaruhi. Dari segi apa pun memandang masalahnya, ia masih bisa menciutkan kajiannya pada salah satu aspek saja seperti hubungan-hubungan dalam tema, gaya, genre atau gagasan. Ia pun bisa saja lebih menciutkan lagi kajiannya, yakni meneliti kemiripan dalam bahasa atau struktur. Konsep penting yang juga perlu disebutkan adalah bahwa pendekatan ini menuntut dipergunakannya bahasa asli karya sastra yang dibandingkan. Dalam zaman sekarang ini, ada baiknya dipikirkan usaha untuk mendorong penelitian dengan pendekatan ini. Karya terjemahan yang bisa dijadikan bahan penelitian bukan hanya yang berasal dari bahasa asing tetapi juga – dan terutama – yang berasal dari bahasa daerah yang sangat banyak jumlahnya. Jika dilaksanakan dengan sebaik-baiknya, hasil penelitian itu akan bisa meningkatkan pemahaman terhadap kebudayaan lain, usaha yang harus terus-menerus kita usahakan di negeri yang sangat bhineka kebudayaannya.
Sastra bandingan mula-mula dilahirkan dan dikembangkan di eropa, benua yang terbagi menjadi sejumlah bahasa dn kebudayaan, namun yang pada dasarnya bersumber pada mitologi Yunani dan Kitab Suci orang Kristen, yakni perjanjian Baru dan Injil. Untuk memadatkan karyanya, sastrawan Eropa siap menggunaka berbagai anasir kebudayaan dan mitologi Yunani; mereka umumnya siap untuk menggunakan tokoh-tokoh mitologi seperti Apollo, Venus, dan Dionysius dalam karya mereka di samping nama-nama tokoh, tempat, latar, dan peristiwa yang kedapatan dalam kitab suci orang Kristen. Bahasa-bahasa di Eropa yang beberapa di antaranya mirip satu sama lain itu menghasilkan kesusastraan yang berbeda-beda, yang dengan bebas bergerak dari satu kebudayaan ke kebudayaan lain. Dalam situasi sedemikian itulah kegiatan menerjemahkan memberikan sumbangan yang besar bagi penyebaran kesusastraan di Eropa.  Dari segi kebahasaan, Eropa dibagi menjadi beberapa kelompok bahasa, antara lain Roman dan Anglo Sakson. Rumpun bahasa Roman, misalnya, mencakup tiga bahasa besar yakni, Prancis, Itali, dan Spanyol. Dalam perkembangan sejarah perlu dicatat juga bahwa sejak ekspansi ke benua-benua lain oleh orang-orang Eropa, bahasa-bahasa Eropa juga berkembang di luar benua itu. Dalam hal ini bahasa Inggris memiliki kedudukan istimewa karena dipergunakan dalam begitu banyak kesusastraan di berbagai benua. Dan ini juga menjadi pertimbangan penting dalam perkembangan sastra bandingan selanjutnya.
Abad ke-19 dan ke-20 telah menumbuhkan kegiatan akademik yang boleh dikatakan tidak dikenal sebelumnya, yakni sastra bandingan, yang memiliki prosedur dan kondisi tersendiri. Kegiatan itu pertama kali dicetuskan oleh Sainte Beuve, dalam sebuah artikel yang dimuat di Revue des Deux Mondes terbitan tahun 1868. Dalam karangannya itu antara lain menjelaskan dengan akurat bahwa cabang studi sastra bandingan baru berkembang di Prancis pada awal abad ke-19. Ia katakana jug abahwa cabang studi baru itu tidak bisa mencakup prihal masuknya sastra asing seperti Italia dan Spanyol ke Prancis yang terjadi pada paro kedua abad ke-16 dan paro pertama abad ke-17. Selama seabad itu bisa dikatakan bahwa pengarang dari seberang perbukitan Pirene dan Alpen memang dibaca, ditiru, dan juga dikutip namun sama sekali tidak ada usaha untuk menguraikannya. Dengan demikian baru sejak abad ke-19 para peminat sastra di Eropa tertarik untuk membicarakan sastra bandingan, bahkan Goethe, dalam suratnya kepada Eckermann pada tahu 1827 menyatakan bahwa sastra nasional sekarang ini sudah menjadi istilah yang tak bermakna; dan bahwa zaman sastra dunia sudah dekat, dan setiap orang harus mempercepat kedatangannya.
Di abad ke-20, pengukuhan studi sastra bandingan terjadi ketika jurnal Revue de Litterature Comparee diterbitkan pertama kali pada tahun 1921. Jurnal itu memuat karangan-karangan mengenai sejarah intelektual, terutama sekali dalam melacak pengaruh dan hubungan yang melewati batas-batas kebahasaan. Dalam pengalaman perkembangan kebudayaan Eropa, tercatat bahwa pengaruh merupkan masalah yang pelik, dan oleh sebab itu menarik. Drama-drama Shakespeare, misalnya, baru seratus tahun kemudian mempengaruhi kesusastraan Jerman dan Prancis, sama sekali tidak mendapatkan perhatian di Inggris.
Jika sastra bandingan itu merupakan studi kesusastraan melewati batas-batas linguistic, maka seharusnya dikaitkan dengan sejarah pemikiran. Alur, gagasan, dan penokohan dengan mudah bisa diwariskan atau ditiru, tetap bahagimana halnya dengan bahasa? Ini adalah masalah besar yang harus dihadapi oleh studi sastra bandingan. Dalam kaitannya dengan hal itu, pengarang besar yang menulis dalam bahasa yang memiliki tradisi sastra yang agung tentu saja merupakan tantangan bagi penterjemah. Kemiskinan linguistic yang ada pada bahasa sasaran akan membatasi kemampuan si penerjemah dalam upayanya memindahkan sastra sumber ke sastra sasaran. Dalam terjemahan, puisi harus menjadi puisi; dalam hal ini paraphrase jelas bukanlah terjemahan tetapi tafsiran.
Sudah disinggung sebelumnya bahwa orang Eropa umunya polyglot; itulah sebabnya studi sastra bandingan menjadi kegiatan yang wajar, tidak dicari-cari. Meskipun ada beberapa bangsa yang mengembangkan aksara sendiri seperti bangsa rusia, umunya bangsa-bangsa di Eropa menggunakan aksara Romawi. Sementara itu, di benua lain seperti Asia, sastra bandingan menghadapi masalah besar sebab ditinjau dari segi linguistic dan budaya, bangsa-bangsa di Asia memiliki ciri-ciri tersendiri yang cenderung menolak dibangding-bandingkan. Disamping memiliki aksara berbeda-beda, Asia tidak memiliki acuan yang tunggal dalam kebudayaannya seperti halnya Eropa. Masing-masing bangsa memiliki mitologi sendiri, meskipun dalam beberapa kasus telah tejradi pengaruh-mempengaruhi, suatu hal yang telah melampaui batas-batas budaya dan politik yang sekaligus menciptakan kelompok-kelompok bahasa yang masing-masing memiliki cirri-ciri serupa.
Dizaman ketika perkembangan teknologi canggih berkembang cepat seperti sekarang ini, hal yang hampir sama mampir pada karya sastra. Jika di zaman lampau Mahabharata yang lahir di India baru bsa mencapai Jawa setelah ratusan tahun lamanya, sekarang ini novel Bharati Mukherjee dalam waktu beberapa hari saja muncul bersamaan di toko-toko buku di seluruh dunia. Dan kemudian terjemahannya menyusul, memberi inspirasi kepada sastrawan yang membacanya untuk melakukan inovasi tematik maupun stilistik. Berbagai gerakan, mashab, dan kecendererungan dengan mudah menular dan menumbuhkan kegiatan baru di negeri-negeri yang terkena tular. Berbagai bentuk puisi, novel, semakin berkembang dan merupakan pinjaman dari bentuk naratif yang lain. Demikianlah maka berbagai mashab seperti aliran romantisme, realism, modernisme, absurdisme, dan eksetensialisme menular kemana-mana. Penularan itu menjadi alasan utama untuk mengembangkan sastra bandingan. Dalam hal ini, istilah ‘pengaruh’ harus diartikan secara luas, bukan sekedar proses peniruan yang menimbulkan karya sastra baru berdasarkan sastra yang sudah ada. Ada pendapat yang mengatakan bahwa seandainya karya sastra yang mempengaruhi itu tidak pernah ada maka karya sastra yang terpengaruh itu tidak ada juga. Pendapat ini dibantah karena kita tidak akan pernah bisa membuktikan hal itu. Konsep pengaruh mencakup spectrum yang luas, mulai dari pinjaman sampai ke tradisi. Terjemahan dari satu bahasa ke bahasa lain berarti pengalihan kebudayan ke kebudayaan lain; hal ini membuka peluang bagi penelitian sastra bandingan. Sampai seberapa jauh terjemahan bisa dan boleh berbeda dari aslinya juga merupkan pokok penelitian yang penting; ini menyangkut pula masalah saduran yang sangat banyak dilakukan dalam perkembangan sastra dunia. Dan dalam beberapa kasus tampak bahwa terjemahan yang keliru malah bisa menumbuhkan perkembangan baru dalam kesusastraan bahasa sasaran.
Jenis kisah lain yang juga sangat popular di kalangan masyarakat adalah cinta yang tak kesampaian, yang di dalam kebudayaan barat dikenal luas sebagai kisah Romeo dan Juliet. Alur itu juga kedapatan dalam kebudayaan apapun dan sampai sekarang menjadi sumber kreativitas yang tak akan habis bagi para sastrawan. Dalam khasanah kebudayaan Jawa dikenal kisah Roro Mendut dan Pranacitra, yang kemudian dalam sastra modern diangkat dalam novel oleh antara lain Ajib Rosidi dan Mangun wijaya. Kisah yang mula-mula merupakan tradisi lisan itu diterima dan diolah sedemikian rupa sehingga memiliki makna baru yang sesuai dengan zaman penciptaannya. Peminjaman kisah lama itu merupakan upaya untuk mengungkapkan dan memecahkan berbagai masalah masa kini yang menyangkut kehidupan pribadi maupun sosial.
Perkembangan sastra modern menunjukkan adanya proses saling mencuri atau saling meminjam tersebut jika kesusastraan Asia Timur, misalnya, dianggap mendapat pengaruh dari kesusastraan Eropa, maka bisa dikatakan bahwa yang sebaliknya juga terjadi. Kesusastraan Timur mengembangkan teater absurd, tetapi banyak drama Barat yang juga dipengaruhi oleh bentuk-bentuk teater tradisional Asia. Menurut Eslin, teater absurd muncul di Eropa karena ada berbagai masalah sosial dan budaya yang menggoyahkan keyakinan orang Eropa, yang terutama disebabkan oleh pecahnya dua perang dunia di benua itu. Orang tidak percaya lagi pada iman keagamaan, tidak percaya lagi bahwa tatanan sosial bisa direncakanan, dan tidak percaa lagi kepada bahasa sebagai alat komunikasi. Proses peminjaman ke arah sebaliknya juga telah terjadi. Pada tahun 1930-an, dalam rangka festival teater di Paris, pemerintah Hindia Belanda mengirimkan kelompok tetater rakyat dari Bali yang memainkan kisah Calon Arang. Teater rakyat itu ternyata menarik perhatian seorang dramawan Prancis, Antonin Artaud, yang kemudian menciptakan bentuk teater baru yang dalam bahasa Inggris dikenal sebagai Theater of Cruelty, ‘teater kekejaman,’ gara-gara konsep dasarnya mengacu kepada “kekejaman” drama rakyat Bali yang mem-pertontonkan adegan orang-0rang menusuk-nususkkan keris ke tubuh mereka sendiri. Jadi, dalam kesusastraan tidak meminjam pun bisa saja sebuah karya itu mirip dengan yang telah dihasilkan oleh pendahulunya, berdasarkan situasi geografisnya dan juga sebagai akibat perkembangan masyarakat dan peristiwa besar.
Indonesia adalah salah satu negeri yang sangat kaya sebagai sumber penelitian sastra bandingan. Ratusan bahasa merupakan kristalisasi nilai-nilai dan norma-norma ratusan kebudayaan etnik telah menghasilkan berbagai tradisi kesenian yang beberapa di antaranya mencapai bentuk sebagai tradisi tulis dan cetak. Sastra, sebagai bagian dari kebudayaan, ditentukan antara lain oleh geografi dan sumber daya alam. Berdasarkan kedua hal itulah kita menyusun masyarakat dan menentukan tata nilai. Dalam karya sastra semua hal tersebut dicatat dan ditanggapi secara kreatif. Perlu dibandingkan agar mendapat gambaran yang lebih jelas mengenai persamaan dan perbedaan antara kita. Perbedaan semacam itu tetap ada di dalam sastra yang ditulis dalam bahasa Indonesia oleh sastrawan-sastrawan yang berasal dari berbagai daerah yang cirri-ciri geografisnya berbeda. Namun demikian, tidak semua karya sastra yang ditulis dalam bahasa Indonesia bisa dihayati dan diphami oleh semua kelompok etnik yang membentuk bangsa ini. Karena adanya perbedaan pandangan hidup yang pada gilirannya menghasilkan tatanan sosial yang berbeda satu sama lain, sastra Indonesia yang ditulis oleh sastrawan Minang belum tentu bisa dipahami oleh pembaca yang berasal dari bali, demikian juga sebaliknya. Itulah sebabnya sebuah prosa lirik karya Linus Suryadi AG, pengakuan pariyem, tidak mudah dipahami oleh masyarakat yang bukan Jawa karena dalam karya itu dipergunakan begitu banyak kata dan konsep dari masyarakat Jawa yang tentu saja asing bagi kebanyakan pembaca Indonesia.
Dalam sastra bandingan, salah satu kegiatan yang sudah banyak dilakukan adalah membandingkan dongeng yang mirip dari berbagai Negara, tidak terutama untuk mengungkapkan yang asli dan pengaruhnya terhadap yang lain tetapi lebih untuk mengetahui kaitan-kaitan antara perbedaan dan persamaan yang ada dan watak suatu masyarakat. Dalam pengertian ini, dongeng mencakup segala jenis kisah yang dalam pengertian Barat dipilah-pilah antara lain menjadi mitos, legenda, dan fable. Dalam mitologi Yunani, ada kisah tentang seorang raja yang membunuh ayahnya dan mengawini ibunya. Laius, raja Thebes, diperngatkan oleh juru nujum bahwa kelak anaknya akan membunuhnya. Mendengar hal itu Laius merencanakan untuk membuang bayi yang lahir dari istrinya, Jocasta. Begitu lahir, sang Raja kemudian memerintahkan agar bayi itu dibuang ke hutan di Gunung Chitaeron setelah sebelumnya mengikat kedua kakinya. Itulah sebabnya kemudian bayi itu dikenal sebagai Oedipus, artinya kaki bengkak. Kebetulan ada seorang gembala yang lewat dan menaruh kasihan kepada si bayi malang itu, maka dibawalah Oedipus dan diserahkan kepada raja Corinthia yang kemudian membesarkan anak itu sebagai anaknya sendiri. Setelah dewasa, Oedipus bepergian ke Delphi untuk menemui juru nujum; ia pun diberi tau bahwa kelak ia akan membunuh ayahnya sendiri dan mengawini ibunya. Oedipus pun tentu saja ketakutan dan memutuskan untuk tidak kembali ke Corinthia karena takut bahwa nujum itu akan terlaksana. Dalam perjalanan ke Thebes, pemuda itu bertemu dengan Laius, sang Raja, yang karena sesuatu hal mengajaknya bertengkar. Pertengkaran itulah yang menyebabkannya membunuh Laius. Sesampai di Thebes, Oedipus mendengar bahwa sudah sejak lama penduduk negeri itu diteror oleh makhluk ganas yang dikenal sebagai Sphinx yang selalu mencegat siapa pun yang lewat di jalanan dan membunuhnya jika di pejalan itu tidak mampu menjawab teka-teki yang diajukannya. Oedipus mengajukan diri untuk menghadapi makhluk itu dan berhasil menjawab teka-tekinya. Itulah sebabnya ia kemudian diangkat menjadi raja dan mengwini Jocasta, yang tak lain adalah ibunya sendiri. Perkawinan mereka itu menghasilkan empat anak yakni Eteocles, Polyneces, Antigone, dan Ismene. Di akhir kisah, ketika mengetahui rahasia itu, Jocasta bunuh diri.
Kisah mengenai Oedipus ini dikenal juga di banyak negeri di Eropa seperti Albania, Finlandia, dan Siprus. Dalam sastra-sastra Eropa, tokoh ini muncul dalam rentetan panjang drama yang dihasilkan oleh Pierre Corneille, John Dryden, dan Voltaire. Legenda yang mencekam itu dituangkan dengan pendekatan yang berbeda oleh seorang dramawan Yunani klasik, Sophocles, dalam Oedipus Rex ‘Oedipus sang raja.’
Dalam uraian ringkas tersebut jelaskan bahwa bahkan dalam suatu tradisi kebudayaan yang sama, kisah mengenai Oedipus ini memiliki versi yang berbeda-beda. Hal itu tidak lain berarti bahwa setiap zaman memiliki cara sendiri untuk mengungkapkan dan menafsirkan masalah yang sangat hakiki dalam hidup manusia. di Priangan, misalnya, kita mendapatkan kisa mengenai sangkuriang yang sangat mirip dengan kisah Oedipus tersebut. Ada banyak sekali versi mengenai kisah itu di Priangan, yang perbedaannya tampaknya tergantung pada letak geografisnya. Kita tahu bahwa salah satu faktor penting dalam penciptaan dan pengembangan kebudayaan adalah geografi. Di daerah sekitar Bandung, kisah itu dikaitkan dengan Gunung Tangkubanperahu sebab benda alam itu merupakan pertanda penting daerah itu. Ringkasnya, kisah itu adalah sebagai berikut.
‘tersebutlah raja Prabangkara yang memerintah sebuah kerajaan di Tanah Priangan. Pada suatu hari ia ingin berburu, maka pergilah sang aja ke hutang diiringi oleh punggawanya. Dalam usahanya menangkap seekor kijang, ia tersesat jauh masuk ke hutan dan karena ingin buang kecil dan kelelahan ia pun turun dari kuda dan kencing, kebetulan air kencingnya tertampung sebuah tempurung. Takdir menentukan bahwa air kencing itu kemudian diminum oleh seekor babi betina yang sebenarnya adalah jilmaan seorang dewi yang kena kutuk. Babi yang bulunya putih itu pun mengandung dan melahirkan seorang bayi perempuan yang sangat cantik, yang diletakkannya di rumputan untuk kemudian diketemukan oleh sang Raja yang kebetulan sedang berburu lagi di hutan itu. Oleh karena tidak mempunyai keturunan, ia pun membawa bayi itu ke keratin untuk dibesarkan. Bayi itu diberi nama Dayang Sumbi. Gadis remaja itu mengejutkan sang Raja ketika memutuskan untuk menyingkir ke hutan bertama ditemani oleh anjing kesayangannya yang bernama si Tumang.
Pergilah akhirnya ia bertapa. Kesukaannya setiap hari adalah menenun, dan ketika pada suatu hari teropong alat tenunnya terjatuh di kolong rumahnya, ia bergumam menyatakan bahwa siapa pun yang bisa membawakan teropongnya itu akan dijadikannya suami. Tak disangkanya sama sekali bahwa yang membawa teropongnya itu adalah Tumang, anjingnnya sendiri yang sebenarnya adalah keturunan dewa seperti halnya si Babi Putih, ibunya. Dayang Sumbi pun menerima Tumang sebagai suaminya dan mengandung, melahirkan seorang bayi laki-laki yang tampan, yang diberinya nama Sangkuriang. Anak itu tumbuh sebagai lelaki muda yang kemana pun di temani oleh Tumang, ayahnya sendiri. Pada suatu hari Dayang Sumbi minta kepada anaknya untuk mencarikannya hati kijang. Sangkuriang pun pergi ke hutan, namun hanya bertemu dengan seekor Babi Putih yang segera diburunya untuk mendapatkan hatinya, untuk mengelabui ibunya. Tumang mengetahui bahwa babi itu tak lain adalah mertuanya, maka ia tidak berbuat apa pun untuk memburunya. Itu sebabnya ia kemudian dibunuh oleh Sangkuriang agar ia bisa menyerahkan hati anjing itu kepada ibunya sebagai ganti hati rusa yang diinginkannya.
Ketika mengetahui peristiwa itu, Dayang Sumbi sangat marah dan memukul kepala anaknya dengan centong nasi sehingga terluka. Lelaki muda itu merasa tidak disayang lagi oleh ibunya, dan pergilah ia mengembara tanpa tujuan untuk meredakan sakit hatinya. Ia kemudian belajar pada seorang pertapa sakti. Sepeninggal pertapa itu ia melanjutkan pengembaraannya dan bertemu dengan seorang perempuan yang sangat rupawan. Keduanya segera menjalin kasih sayang. Pada suatu hari gadis itu mencari kutu di kepada kekasihnya dan menjadi sangat terkejut ketika mengetahui bahwa pemuda itu ternyata adalah anaknya sendiri – pitak di kepala lelaki muda itu adalah buktinya. Meskipun Dayang Sumbi berusaha menjelaskan maslanya, Sangkuriang tetap tidak mau percaya sebab tidak masuk akalnya jika ibunya masih tetap muda dan cantik seperti sedia kala.
Pemuda it uterus mendesak Dayang Sumbi yang akhirnya menerima tawarannya dengan syarat bahwa dalam waktu semalam lelaki musa itu harus bisa menyiapkan sebuah telaga di puncak gunung berikut sebuah perahu untuk keperluan bulan mereka nanti. Syarat yang sangat berat itu pun diterimanya, dan dengan bantuan segerombolan jin yang dulu pernah ditaklukkannya, Sangkuriang hampir berhasil memenuhi syarat yang berat itu. Namun, Dayang Sumbi tetap tidak bisa menerima kenyataan itu sehingga sebelum semua gagal. Demikianlah maka atas kehendak dewa ayam pun berkokok tanda pagi tiba, matahari bersinar, dan orang-orang bangun dari tidurnya.
Mengetahui hal itu pasukan jin yang membantu Sangkuriang segera menghentikan pekerjaannya dan lenyap entah kemana. Sangkuriang tinggal sendirian, jengkel karena pekerjaannya gagal dan dalam kemarahan yang luar biasa ia pun menendang perahu yang sudah dibuatnya sehingga melesat jauh dan tengkurap di suatu tempat yang kemudian dikenal sebagai Tangkubanperahu.’
Jika dalam Oedipus Yunani tokoh utama adalah raja dan permaisuri, dalam kisah sunda itu Sangkuriang dan Dayang Sumbi bukanlah raja dan permaisuri. Ayah Sangkuriang bukanlah raja yang terdahulu tetapi seekor anjing yang sebenarnya adalah dewa yang kena kutuk. Versi kisah Sangkuriang itu banyak sekali berkembang di Priangan. Ditilik dari berbagai segi, perbedaan yang ada antara versi-versi itu tertulis maupun lisan, tentu disebabkan oleh beberapa faktor sosial dan budaya. Usaha untuk menemukan dan mengapresiasi makna yang lebih dalam bisa diusahakan dengan cara menggunakan pendekatan sastra bandingan. Penokohan, latar, perlambangan, dan alur bisa ditelusuri dan kemudian untuk menentukan perbedaan dan persamannya dalam upaya pemahaman yang lebih dalam mengenai kebudayaan yang menjadi kekuatan penciptanya.
Dalam khasanah sastra Jawa klasik, kisah yang mirip dengan itu juga ditemukan. Babad Tanah Jawi, sebuah kitab Jawa klasik yang dianggap sebagai sejarah, mengutip berbagai kisah dari tradisi lisan untuk menentukan asal-usul suku bangsanya. Di awal buku itu kita temukan alur dan tokoh yang bisa dibandingkan dengan kisa Oedipus dan Sangkuriang. Kutipan beberapa alinea untuk menunjukkan betapa berbedanya kerangka kisah yang sama dimanfaatkan oleh pujangga yang berbeda zaman dan kebudayaan.
‘Ada seorang raja agung, Sri Watugunung namanya, bertahta di Gilingwesi. Ia disegani dan dihormat pada semua saudaranya. Saudara sang Raja sebanyak dua puluh delapan semua lelaki. Sang Raja sangat disegani dalam peperangan.
Syahdan kerajaan Gilingwesi tampak kosong dan tidak tenteram. Terjadi gerhana matahari dan bulan, bintang berekor di malam hari. Kilat dan petir bersahutan. Hujan salah musim. Gempa, geledeg, kilat, gunung api bergoyang-goyang, samudra bergejolak. Asal-usul gara-gara adalah karena sang Raja terkena cobaan Batara, terlilit oleh perilaku yang keliru, yakni mengawini ibunya sendiri. Ia telah melampaui batas karena besarnya rasa cintanya terhadap ibunya, shinta, dan tidak sadar bahwa istrinya adalah ibunya sendiri. Sang istri pun tidak menyadari bahwa suaminya adalah anaknya. Keduanya telah lama berpisah sehingga tak saling mengenal lagi.
Dan karena akhirnya mereka kawin, terjadilah kekacauan di seluruh negeri. Sang Raja bingung, duduk bersama permaisurinya, sinta, yang mencoba menenangkan hatinya. Sang Raja rebahan di pangkuan istrinya, yang asik mencari kutu di kepalanya. Alangkah akget sang permaisuri melihat ada bekas luka di kepala sang Raja.
Istrinya berkata lembut kepada sang suami, Sri Watugunung, katanya, “apa sebab di kepala paduka ada bekas luka?” sang Raja menjawab, “asal mulanya begini. Waktu itu aku lagi malas, menangis minta nasi. Aku menginginkannya cepat-cepat, tidak sabar. Ibu yang sedang menanak nasi menjadi berang, dan geregetan melihat tingkahku. Kepalaku pun dipukul dengan sendok nasi, sehingga akhirnya pitak. Aku sakit hati. Pergi jauh ke mana saja, tak tahu arah, tak ingat bahaya. Sekarang aku telah mendapatkan anugerah dewa dan menjadi raja. Ibuku Basundari, namaku Raden Radite.”
Ketika isterinya mendengar ucapan suami, berlinang air matanya dan pedih hatinya. Dipikir-pikirnya. Ditatapnya, direnungkannya, dan ia pun jadi teringat bahwa dahulu anaknya dipukul sendok nasi dan segera pergi dengan kalau pitak. Ia sangat gembira, tidak syak lagi bahwa sang Raja itu anaknya. Akhirnya, oleh dewa mereka dijodohkan. Tak ada yang bisa diubah. Segala tindak-tanduk umat dikuasai dan diatur, tetapi akhirnya harus diterima dengan rasa syukur.
Sang Dewi pun berkata dengan penuh hormat, “Hamba mohon hendaknya paduka kawin dengan perempuan yang lebih unggul. Dan hamba juga mohon, hendaknya dimadu dengan segenap bidadari di suralaya.” Raja Watugunung tertawa dan berkata, “Adindaku yang cantik sempurna, hanya kaulah sukma dan jiwaku, banyak makna yang tersirat dalam permohonanmu untuk dimadu. Baik saya penuhi keinginanmu. Kau minta para bidadari di kerajaan Suralaya, ya aku segera naik ke sana. Semua bidadari di sorga akan aku turunkan semua. Mereka semua akan mengabdi kepadamu. Kau tinggallah disini, Adindaku, aku akan segera mengumpulkan semua prajurit lengkap dengan senjatanya, untuk menyerbu Suralaya.”
Sang prabu segera keluar dan duduk di Balairung. Para perwira perang lengkap, di samping para kerabat, yakni Tolu, Gumbreg, Wargagung, Ki Julung sungsang, Ki Galungan, Ki Lengkir, Mandhasiya, Julungpujut dan Ki Pahang, Kuruwelut dan Ki Marakeh. Tambir dan Ki Madhangkungan, Ki Maktal, Wuye, Manahil, dan Prangbakat. Para prajurit bernama Wugu, Wayang, Kulawu, Dhukut, istrinya Landep. Berikutnya Wukir dan Kuranthil.
Maka sabda sang Raja, “Wahai, segenap saudara dan prajuritku, kalian akan aku ajak menyerbu kerajaan Suralaya, menundukkan semua dewa. Kalau tidak mau tunduk dan takluk, Suralaya akan aku gempur sampai rata. Segera kumpulkan segenap senjata dan kerahkan semua prajurit, siaplah berperang. Kalau dewa tidak mau takluk naiklah ke Suralaya. Kalian jangan khawatir, jeratlah leher para dewa biar jadikan kerbau-kerbauan. Celakakan mereka.”
Para prajurit menjawab serentak, menyatakan siap sedia. Para perwira Gilingwesi segera menabuh tanda perang. Gong agung gemuruh suaranya. Pagar seakan jebol. Serempak suara kuda meringkik. Bende dipukul bertalu-talu. Prajurit berkendaraan dan berjalan bergerombol, dalam pakaian warna-warni sehinga sinar bulan menjadi pudar, tersisih oleh sinar senjata.
Betapa suara kuda dan gajah terdengar bagai gunung belah, dan begitu riuah suara beradunya batang tombak bercampur derap barisan. Mereka saling bersahutan dengan penuh semangat, bagaikan mau menggempur gunung”.
Kisah Jawa tentang percintaan dan perkawinan antara anak laki-laki dan ibunya itu sama sekali berbeda dalam latar, penokohan, dan alur. Jika dalam kebudayaan Yunani klasik kisah itu sama sekali tidak dikait-kaitkan dengan penciptaan dunia, dalam babad Jawa kisah Prabu Watugunung ini sangat erat kaitannya dengan proses penciptaan jagad raya, dan oleh karenanya diletakkan di bagian awal kitab. Kisah ini bahkan memberi inspirasi bagi ditetapkannya penanggalan jawa yang terdiri atas tiga puluh Wuku, yang dalam kisah ini diwakili oleh Watugunung dan saudara-saudaranya.
Secara sekilas bisa dilihat perbedaan dan persamaan yang ada antara kisah-kisah itu. Tokoh utama adalah seorang lelaki yang membunuh ayahnya dan mengawini ibunya. Ini tampak dalam Oedipus maupun Sangkuriang, tetapi tidak tampak dalam kutipan dari Babad Tanah Jawi yang mengisahkan Prabu Watugunung. Dalam Babad Tanah Jawa itu tidak ada indikasi siapa ayah Watugunung meskipun dijelaskan bahwa permaisurinya ternyata adalah ibunya sendiri. Identitas itu diketahui oleh ibunya, tetapi tidak diketahui tokoh utama, suatu hal yang sama dalam Sangkuriang tetapi yang tidak kedapatan dalam Oedipus.
Dengan menggunakan pendekatan ini kita pun bisa membuat daftar perbedaan dan persamaan berkaitan dengan unsur-unsur formal kisah-kisah itu, yang kemudian bisa saja ditafsirkan secara obyektif atau dikaitkan dengan berbagai faktro sosial, politik, dan budaya yang mendasari penciptaannya. Dalam kisah Yunani, faktor juru nujum sangat menentukan rangkaian peristiwa, sedangkan dalam kedua kisah di Jawa dan Sunda tokoh itu tidak ada. Kisah Oedipus juga menampilkan masalah teka-teki sayembara, masalah yang tidak kita dapatkan dalam kedua kisah di Pulau Jawa itu. Faktor budaya tampak jelas dalam peristiwa diungkapkannya identitas tokoh oleh ibu/istrinya dalam kedua kisah di Tanah Jawa, sedangkan pengungkapan identitas Oedipus tidak ada kaitannya dengan sendok nasi – tentu saja. Baik di Yunani maupun di Jawa, versi kisah itu begitu banyak sehingga tidak mungkin, dan tidak usah, kita mencoba untuk menentukan yang mana yang asli.
Kait-mengait antara kisah-kisah itu bisa dijadikan bahasan dalam sastra bandingan, tentu dengan tujuan penelitian yang berbeda-beda. Yang juga penting sebagai bahan untuk ditanyakan adalah mengapa kisah yang oleh Freud diberi label Kompleks Oedipus itu banyak kedapatan di berbagai kebudayaan dan bangsa, tidak hanya di Eropa tetapi juga di benua-benua lain. Jawabannya tentu berkaitan erat dengan berbagai faktor kebudayaan, yang pada gilirannya mau tidak mau berlandaskan situasi geografis dan suasana sosial politik yang mendasari pemikiran sang pujangga. Dengan pendekatan semacam itulah diharapkan pemahaman yang lebih dalam atau kecenderungan budaya bisa dicapai.
Romantisisme, atau juga yang sering disebut romantisme – terutama kalau acuannya gerakan di Perancis – adalah gerakan yang terikat pada tempat dan waktu. Namun, para pengamat menyimpulkan bahwa mashab atau gerakan itu menyebar ke seluruh Eropa, bahkan kemudian ke seluruh dunia, meskipun sebenarnya di negeri-negeri di luar Eropa cirri-ciri Romantisisme itu dikenal juga, kalau tidak dalam ujudnya sebagai tradisi lisan juga dalam kitab-kitab klasik dalam berbagai bahasa yang tersebar di seluruh Asia. Sudah sejak ribuan tahun yang lampau Cina, India, Jepang, dan Negara-negara di Timur Tengah menghasilkan kitab-kitab yang cirri-cirinya mirip dengan apa yang di Barat dikenal sebagai romantisisme, yang juga diakui sudah sejak ribuan tahun yang lalu berkembang di beberapa bagian Eropa.
Di inggris, gerakan ini mengalami perkembangan selanjutnya ketika para pengarang zaman itu, yang umumnya adalah kaum intelektual yang berlian, memiliki cirri-ciri individualisme, kegemaran pada yang gemerlapan, dan entusiasme kaum muda. Romantisme inggris mencakup waktu sekitar 100 tahun, mulai dari pertengahan abad ke-18 sampai pertengahan abad ke-19. Pemikiran baru itu berhembus ke seluruh Eropa dan hasilnya adalah karya-karya besar di berbagai bidang kesenian dan filsafat. Gerakan romantik di inggris mencapai kematangan sekitar tahun 1760 dengan munculnya penyair-penyair William Blake dan William Wordsworth serta novelis Walter Scott, yang kemudian diikuti dengan perkembangan selanjutnya di abad ke-19. Gerakan yang tumbuh di inggris pada dasarnya hanya didasarkan pada insting dan dilakukan secara informal.
Munculnya gejala yang sama di Indonesia pada tahun 1920-an dan 1930-an tentu tidak bisa dicari akarnya di Yunani klasik atau Eropa abad pertengahan. Ia muncul ketika negeri ini berada dalam situasi pergolakan politik yang penting, yang dilandasi oleh rasa kebangsaan yang muncul di kalangan kaum muda.
Yang terjadi di Indonesia tentunya berbeda ciri-ciri klasikisme yang banyak diungkapkan tampaknya bisa juga diterapkan pada kitab-kitab klasik kita yang ditulis dalam berbagai bahasa seperti Melayu, Sunda, dan Jawa. Namun, dalam pengertian Takdir Alisjahbana, misalnya, yang merupakan lawan gerakan baru ini adalah “puisi lama” yang berasal dari masyarakat lama pula.
Kata ‘romantik’ adalah kata yang di Inggris mulai di perkenalkan pada pertengahan abad ke-17. Kata itu lebih sering dipakai dalam pengertian roman, yakni kisah atau masalah yang menyangkut hubungan perempuan dan laki-laki dalam percintaan. Dalam kata itu kemudian muncul makna sebagai semangat menentang akal. Perasaan semacam itu tentu tidak muncul begitu saja tetapi memiliki awal yang di Inggris dikenal sebagai Praromantik.
Istilah Praromantik tentunya juga bisa dikenakan pada karya sastra yang ditulis sebelum”kelompok” menulis, yakni antara lain yang dihasilkan M. Yamin dan Rustam Effendi.
Dalam perkembangan selanjutnya para penyair Inggris semakin merasakan hubungan mereka dengan alam liar dan bahkan merasa menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari alam. Mereka terpesona oleh kesunyian dan keheningan alam, dan karenanya menciptakan sajak-sajak yang memuja keheningan yang lahir dari suasana alam yang masih liar. Kesadaran dan perhatian akan alam liar itu pada gilirannya mendorong para penyair itu untuk memperhatikan segala yang asli, yang primitive – meskipun istilah itu tentu saja kemudian dianggap menyinggung perasaan bangsa-bangsa yang diberi label demikian. Namun, yang menjadi cirri utama primitivisme sebenarnya adalah nilai-nilai yang dianggap berharga oleh orang Eropa yang sudah menganggap dirinya modern.
Ciri tersebut tidak jelas tampak dalam perkembangan puisi Indonesia sebab tentunya suku-suku bangsa di sini pun dianggap semuanya primitif.  Terkecuali tentang pandangan bahwa anak kecil dianggap lebih arif ketimbang orang dewasa dalam memandang alam.
Pada zaman itu di Inggris muncul juga keluhan yang menyatakan bahwa kaum Romantik mengembangkan perasaan yang eksesif. Pada masa itu di kalangan kaum terpelajar ada kecenderungan kuat untuk mendengarkan pandangan Jean-Jacques Rousseau yang mengatakan, “Aku tidak lebih baik dari orang lain memang, tetapi setidaknya aku beda.” Dengan itu oleh sementara kalangan dianggap sebagai kredo yang menyebabkan tumbuhnya keinginan untuk masuk ke dalam diri sendiri dan mencari segala sesuatu yang berbeda dalam dirinya.
Revolusi Perancis dan peperangan Napoleon mempunyai dampak terhadap gerakan Romantik, namun Revolusi industry di Inggris mempunyai dampak yang jauh lebih dalam. Selama revolusi itulah tumbuh kesadaran akan sisi buruk dan jahatnya industry bagi masyarakat luas dan oleh sebab itu sejumlah pemikir mulai mencari jalan untuk melenyapkan kejahatan itu. Penyair seperti Blake yang hidup dekat dengan masa sulit itu mengungkapkan rasa simpatinya yang sangat besar terhadap kaum tertindas seperti yang tampak dalam sebuah sajaknya tentang pembersih cerobong asap. Salah satu sajaknya yang berjudul The Chimney Sweeper ditulis dalam suasana kemarahan penyair itu terhadap kecendrungan masyarakat dalam memanfaatkan anak-anak sebagai buruh yang dibayar murah meskipun harus bekerja dalam risiko yang sangat tinggi.
Di Indonesia masa itu belum terasa dampak revolusi industry sebab Hindia Belanda bukanlah koloni yang sudah sepenuhnya merupakan bagian negeri Belanda yang mene-kankan pentingnya industry meskipun sudah mulai terasa usaha kearah itu, antara lain dengan didirikannya industri teh, kina, dan gula yang menghasilkan kesengsaraan rakyat karena menggusur petani yang sudah terbiasa menanam padi.
Tentang penerjemahan sastra, Gilfford rupanya menyampaikan pandangan yang negatf terhadap sastra terjemahan; sastra terjemahan diibaratkannya sebagai tidak lebih dari reproduksi hitam putih dari lukisan cat minyak sebab teksturnya telah berubah. Dikatakannya pula bahwa tidak ada terjemahan yang bsia menandingi taraf kehalusan dan kelengkapan yang ada dalam imajinasi penulis asli dalam menyusun bahan karangannya; karena itu keutuhan karya sastra asli akan dimiskinkan oleh terjemahan, meskipun taraf pemiskinan itu tergantung pada jenis karya sastra yang diterjemahkannya.
Pandangan semacam itu sangat wajar dalam konteks pembicaraan mengenai sastra bandingan, suatu bidang minat dalam telaan sastra yang memusatkan perhatian pada banding-membandingkan karya sastra. Dalam bidang minat ini, tentu saja karya terjemahan tidak mempunyai kedudukan yang kokoh. Segi-segi stilistik, bahkan tematik, karya sastra tidak akan bisa dibanding-bandingkan jika bahannya adalah karya terjemahan. Namun, terkadang bisa saja terjadi penerjemah kurang mampu; namun bisa juga keunggulan terjadi pada terjemahan. Dalam hal inilah sebenarnya terjemahan itu oleh orang Prancis dianggap sebagai Trahison Creatrice ‘pengkhianatan kreatif’, sementara orang italia menyebut Traduttore sebagai Traditore ‘penerjemahan adalah pengkhianatan’.
Dalam konteks pembicaraan itu, kita bicarakan terjemahan seorang penyair kita, Chairil Anwar, yang merupakan tokoh unik dalam sejarah sastra kita: ia dianggap pelopor suatu pembaruan sastra sekaligus dituduh penyair yang suka mencuri karya penyair asing. Contoh beberapa cara yang ditempuh penyair untuk mengalihkan sastra sumber ke gambaran bagaimana kira-kira proses pengaruh itu lewat terjemahan. Salah satu sajak yang diterjemahkan Chairil Anwar adalah karya John Cornford, “poem” yang dalam terjemahan diberi judul “Huesca.” Terjemahan Chairil Anwar tersebut termasuk yang ‘setia’ (kalau kita tetap menggunakan istilah yang biasa kita pakai) kepada aslinya; penyair kita itu tidak mencuri atau meminjam seperti yang tampak dalam sejumlah sajaknya.
Alih wahana adalah perubahan dari satu jenis kesenian ke jenis kesenian lain. Dalam bagian-bagian sebelumnya telah disinggung bahwa karya sastra tidak hanya bisa diterjemahkan, yakni dialihkan dari satu bahasa ke bahasa lain, tetapi juga dialihwahanakan, yakni diubah menjadi jenis kesenian lain. Cerita rekaan, misalnya, bisa diubah menjadi tari, drama, atau film; sedangkan puisi bisa diubah menjadi lagu atau lukisan. Seperti halnya kebanyakan teater rakyat dan tradisional lain seperti komidi Stambul atau Mendu atau Opera Melayu di zaman sebelum Kemerdekaan, ketoprak terbuka terhadap pengaruh dari mana saja. Di Jawa tahun 50-an Romeo dan Juliet muncul sebagai Repertoire ketoprak; dalam puisi Chairil Anwar nama kedua tokoh tragedy itu pun muncul; sementara itu Hamlet dipentaskan oleh Rendra. Sejumlah karya Shakespeare telah diubah bentuknya menjadi film, tidak hanya oleh orang Inggris tetapi juga oleh sutradara-sutradara film kenamaan seperti Akira Kurosawa dari jepang yang mendapat pujian Internasional karena antara lain telah memfilmkan Macbeth dan King Lear.
Banyak hal yang menyebabkan perubahan harus dilakukan jika sebuah karya sastra diubah menjadi media lain, seperti film dan – setelah ada televisi – sinetron. Novel adalah cerita yang disusun dengan kata yang tercetak di atas lembaran kertas, yang bisa dibawa kemana-mana sembarang waktu. Dalam teori film dipergunakan sejumlah jargon yang bersumber pada teori sastra, tentu karena jenis seni itu jauh lebih kemudian munculnya dibanding dengan karya sastra, dalam hal ini fiksi. Di samping itu, film adalah juga ‘bahasa’ yang memiliki ‘tata bahasa’ yang bisa saja dianalogikan dengan fiksi: urutan kata atau frasa dalam fiksi menjadi urutan shot dalam film. Demikianlah maka urutan shot itu bisa dibaca sebagai bahasa yang memiliki tatanan tertentu, yang tentunya sejalan dengan ‘tata bahasa’ dalam segala jenis seni lain yang naratif.
Perbedaan mendasar antara karya sastra dan film, misalnya, adalah dalam hal pengembangan imajinasi pembaca dan penonton. Dalam membaca Siti Nurbaya, yang kita bayangkan mengenai kecantikan gadis itu tentunya sesuai dengan bayangan yang ada dalam pikiran kita masing-masing. Ketika diangkat ke layar putih, sutradara harus menentukan siapa yang akan memerankan gadis mahaelok itu. Dan ketika pilihan sudah dijatuhkan dan film itu kita saksikan, bisa saja masing-masing kita menjadi kecewa karena ternyata bintang film yang memerankannya jauh dari bayangan kita mengenai Siti Nurbaya. Novel disusun dari kata-kata yang dideretkan di atas kertas; untuk membayangkan kecantikan gadis itu kita dituntut untuk menggunakan imajinasi sepenuhnya tanpa dituntun oleh “gambar” yang sudah disediakan, meskipun tidak jarang dalam novel ada juga gambar sebagai ilustrasi. “gambar” Siti Nurbaya dalam benak kita masing-masing berbeda.
Unsur lain yang juga perlu mendapat pehatian khusus adalah dialog. Film tidak memungkinkan, atau setidaknya mengharamkan, adanya dialog panjang-panjang sepertiyang ada dalam bukunya, yang sebagian di antaranya bahkan ada yang berbentuk syair. Dialog antara Siti Nurbaya dan sepupu perempuannya mengenai hak-hak perempuan dalam cinta dan rumah tangga, misalnya, panjang dan sangat bertele-tele – suatu hal yang tidak mungkin dipindahkan begitu saja ke dalam film.
Dalam perkembangan yang terjadi akhir-akhir ini di Indonesia, ada usaha untuk membukukan film. Banyak pertimbangan penulis novel membukukan film diantaranya kenyataan film dan skenarionya bisa saja tidak sepenuhnya sama. Ketika sebuah film diubah ‘kembali’ menjadi bahasa verbal, proses yang sebaliknya terjadi. Gambar diubah menjadi kata-kata. Proses ulang alik pun terjadi, mula-mula sutradara film menafsirkan kata menjadi gambar, kemudian si novelis menafsirkan tafsiran sutradara yang berupa gambar itu menjadi kata-kata.
Sastra bandingan bisa juga meneliti hubungan antara anasir bunyi dalam puisi dan lagu. Seperti anasir bunyi seperti onomatope, aliterasi, asonansi, dan rima menduduki tempat penting.
Dengan menggunakan konsep-konsep dalam seni rupa, sastra bandingan bisa mengungkapkan jenis citraan visual apa yang ada dalam puisi. Contohnya seperti gambar yang dipuisikan.
Dalam sastra bandingan ada suatu prinsip penting yang menyatakan bahwa karya sastra yang sudah diterjemahkan atau disadur berubah statusnya menjadi bagian tak terpisahkan dari sastra bahasa sasaran dan bukan lagi menjadi milik sastra sumber. Maka demikian segenap karya sastra Jawa lama yang merupakan hasil terjemahan, saduran, atau “pinjama” dari sastra asing secara sah merupakan bagian dari sastra Jawa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar